Ringkasan Laporan ASEAN Seminar Kopi Internasional

“SUMMARY REPORT”

ASEAN INTERNATIONAL SEMINAR ON COFFEE

BALI, 12 – 13 JUNI 2012

 

PELAKSANAAN & WAKTU  KEGIATAN

Seminar Internasional  Kopi  ASEAN dengan tema  “Asean Coffee Industry Competitiveness and The Certified Coffee” dilaksanakan di Hotel Inna Kuta,  Jl. Pantai Kuta  No.1, Bali, Indonesia,  pada  hari Selasa, tanggal 12 Juni 2012 dan dilanjutkan dengan Fieldtrip ke pengolahan kopi biji Arabika (fully washed)  “SUBAK ABIAN TRIGUNA KARYA, di desa  Catur Kec. Kintamani, Kab. Bangli pada hari Rabu, tanggal 13 Juni 2012.

PESERTA

Seminar diikuti oleh kurang lebih 100 orang yang berasal dari pemangku kepentingan pada sektor kopi termasuk Perwakilan Pemerintah negara ASEAN dalam hal ini Indonesia, Laos, Malaysia, Thailand dan Vietnam,  serta pihak swasta yang berasal dari produsen/eksportir kopi, processing dan industry, scientist, kelompok tani dan mahasiswa.

Seminar diawali dengan sambutan selamat datang (welcome remarks) oleh Bpk. Moenardji Soedargo President of Coffee Club of ASEAN.  Selanjutnya Seminar dibuka secara resmi oleh Ibu Banun Harpini, Plt Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian.

PANITIA  PENYELENGGARA

  • Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian,
  • Direktorat jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian,
  • Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri,
  • Coffee Club of ASEAN dan Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI).

TOPIK & NARASUMBER

Nara sumber terdiri dari Dirjen PPHP, Direktur Eksekutif International Coffee Organization (ICO), Konsultan Internasional Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI), Pusat Penelitian Kopi dan Kako (Puslitkoka) Jember, Perwakilan PTPN XII Jawa Timur dan Perwakilan Vietnam Coffee Association (VICOFA), Vietnam, dengan Topik untuk tiap-tiap pembicara adalah:

a)      Global Supply-Demand Coffee Outlook, Mr. Jose Dauster Sette, Direktur Eksekutif a.i International Coffee Organization (ICO)

b)      Coffee Certification – Historical background of Coffee Certification Schemes,     Mr. Derek Watson, Konsultan Internasional  – Gabungan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI)

c)      The Challenge of Reconciling Sustainable Growth in the Coffee Value Chain and Cost and Benefit of Certification – Indonesia Experience,  Mr. Misnawi,  Perwakilan Pusat Penelitian Kopi dan Kako (Puslitkoka) Jember

d)      The Challenge of Reconciling Sustainable Growth in the Coffee Value Chain and Cost and Benefit of Certification,  Mr. Do Ha Nam,  Perwakilan Vietnam Coffee Association (VICOFA), Vietnam

e)      Industry’s Perspective On Coffee Certification, Mr. Dudiek Polii, Perwakilan PT Perkenunan Nasional  XII Jawa Timur

 

ISU PERMASALAHAN SERTIFIKASI KOPI

Peranan  komoditas  kopi mempunyai kedudukan yang sangat penting  dalam pasar internasional,  kopi menduduki urutan yang cukup tinggi baik dari segi volume maupun nilainya.

Perkebunan dan industri kopi dunia, diantaranya oleh ditopang kurang lebih 25 juta penghasil kopi dunia adalah petani kecil  (smallholder)  yang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini.

Menurut ICO (2011), terdapat kurang lebih 80 negara penghasil kopi di dunia, termasuk negara-negara ASEAN yang secara iklim dan geografi cocok untuk pertumbuhan kopi.  Bahkan Vietnam dan Indonesia menduduki urutan kedua dan ketiga penghasil kopi terbesar di dunia.

Vietnam memproduksi 19.467 juta bags (setara 60 kg) berkontribusi sebesar 14.5% dari produksi kopi dunia, sementara  Indonesia memproduksi sebesar 9.129 juta bags, berkontribusi sebesar 6.8% terhadap produksi kopi dunia.  Sedangkan negara ASEAN lainnya sebagai penghasil kopi adalah Thailand, Filipina, Lao and Myanmar.

Konsumsi kopi dunia tumbuh secara stabil pada tingkat 2,5% per tahun.  Pertumbungan tercepat terjadi di “emerging market” seperti Eropa Timur dan Asia serta negara-negara penghasil kopi sendiri.

Sejak beberapa tahun terakhir, konsumen kopi, retailers, dan roasters  di Eropa, USA, Canada dan Jepang telah menghendaki  agar kopi  diproduksi secara berkelanjutan (“sustainably”).  Dewasa ini, tuntutan tersebut telah diterjemahkan kedalam berbagai  isu “ standard” atau “sertifikasi” pada sektor kopi.

Tuntuan isu “standarisasi” tersebut telah dimanfaatkan baik oleh Pemerintah, Donor maupun  LSM antara lain dengan mempromosikan berbagai “skema sertifikasi”  untuk merespon permintaan negara konsumen.   Sejak itu, sertifikasi  dipersyaratkan bagi sebagian besar  eksporter kopi.  Bahkan beberapa tahun terakhir, sertifikasi telah menjadi standar wajib yang dipersyaratkan oleh pembeli untuk produk kopi yang akan dibelinya.

Semula dengan penerapan sertifikasi  tersebut, produsen mengharapkan  peningkatan penjualan dengan adanya tingginya permintaan terhadap produk bersertifikasi. Selain itu, pasar sertifikasi diharapkan menawarkan harga premium lebih tinggi dan tingkat pendapatan yang lebih baik.  Akan tetapi, pada kenyataannya harga premium kopi bersertifikasi  tidaklah seperti yang diharapkan oleh produsen.  Bahkan produk bersertifikasi  tidak selalu memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan produk yang tidak bersertifikasi.

Sebagaimana penerapan serifikasi 4C di Vietnam, premium  harga pada saat awal dirasa cukup untuk menutup biaya produksi dll, akan tetapi pada akhirnya premium yang diterima semakain berkurang.  Hal ini terjadi karena biaya yang berkaitan dengan rumitnya prosedur sertifikasi dan tidak praktis, dalam hal ini sertifikat tidak diterima oleh masing-masing perusahaan tetapi diterima oleh pihak Pemerintah Vietnam.

Hingga saat ini, terdapat beberapa program  sertifikasi kopi  yang berlaku secara internasional dengan beberapa “Critical Point”,  sebagai persyaratan sertifikasi,  antara lain  sbb :

  • Social  :  Minimum wage, salary Worker age, Education conflict, minor worker,  Working environment, facility,  Discrimination,  Forced labour.
  • Environment  : Protection (forest),  Erosion (surface, steep area), Diversity, protection, Water quality, Pesticide, Waste management .
  • Product / Economy  : Transparency and equity, Traceability, Quality, Safety and GMO, Processing, consistency.

Beberapa isu lainnya yang muncul dalam diskusi :

  • Salah satu tantangan sebagai negara penghasil kopi adalah ketersediaan statistik yang baik, Mengenai pendataan/pemetaan luasan tanaman kopi dan juga area pengembangannya terutama utk kopi Robusta.
  • Skema sertifikasi kopi harus mudah digunakan, terjangkau, dan mudah diadaptasi oleh pedagang, eksportir bahkan petani, akan tetapi pada saat yang sama tidak membebani harga produk kopi
  • Penggunaan sertifikasi kopi di masing-masing negara dapat membuat sertifikasi lokal
  • Program sertifikasi dasar yang dilakukan oleh Lembaga Indonesia yang disyahkan oleh Pemerintah yang menjadi standard nasional dan internasional
  • Perlu adanya definisi yang jelas tentang sustainability dapat diterima oleh industri dan konsumen pada umumnya.
  • Kopi merupakan tanaman yang memiliki peran penting selama ratusan tahun. Manfaatnya sebagai tanaman yang jelas dalam hal “sustainability”.
  • Saat ini pengembangan sertifikasi untuk kopi yang berkelanjutan dan bernilai ekonomi belum mapan.
  • ICA telah ada selama 50 tahun, dan pada edisi 2007 ICA untuk pertama kalinya sustainability diidentifikasi menjadi salah satu tujuan.
  • Terdapat sejumlah program sustainability yang aktif dipromosikan. Dimulai dari organik yang dirancang untuk mengurangi kerusakan lingkungan yang merugikan dari penggunaan bahan kimia yang berlebihan menuju pada lingkungan yang lestari (sustainable). Akan tetapi, hal ini ditafsirkan berbeda di berbagai negara.

KESIMPULAN, SARAN & USULAN

Peranan komoditas kopi sangat penting dalam perekonomian Indonesia, selain sebagai salah satu komoditas  andalan  ekspor Indonesia  dari sektor  perkebunan dan penyumbang devisa yang potensial, kopi juga merupakan sumber pendapatan utama sejumlah masyarakat, dan penyedia lapangan kerja di berbagai daerah di Indonesia. Sehingga persyaratan sertifikasi yang  menimbulkan distorsi harga di tingkat pedagang dan eksportir kopi,  pada giliranya akan memberatkan produsen kopi  di  Indonesia  yang rata-rata petani kecil  (90 % smallholder).

Beberapa faktor lain, adalah tidak ada jaminan konsumen akan membayar lebih tinggi, karena biasanya konsumen membeli produk kopi berdasarkan kebiasaan atau merek,  dan tidak terlalu peduli pada sertifikasi.  Oleh karena itu,  kebanyakan produsen kopi mulai memandang sertifikasi sebagai penyebab peningkatan biaya dan hambatan pasar.

Program sertifikasi yang terlalu banyak dengan persyaratan yang membingungkan, menyebabkan distorsi dan biaya tinggi  baik ditingkat pedagang & eksportir hingga di tingkat petani (smallholder). Bagi petani manfaat yang diharapkan adalah peningkatan pendapatan  maupun hasil perkebunan kopi yang lebih baik.  Sedangkan persyaratan yang ketat dari lembaga yang didominasi lembaga asing, tidak sebanding dengan apresiasi premium harga konsumen yang semakin menurun, dan lebih buruk dari pada pengenalan awal.

Dari pemaparan dan diskusi dalam seminar dapat disimpulkan bahwa terdapat kesamaan pandangan diantara negara produsen kopi ASEAN dalam menghadapi permasalahan sertifikasi, antara lain  sbb :

  • Biaya (cost)  sertifikasi sangat memberatkan, sementara keuntungan (benefit) belum sepenuhnya dapat dirasakan manfaatnya. Jika harga kopi rendah, kopi sertifikat terjual dengan harga premium, sedangkan pada saat harga kopi tinggi pengaruh sertifikasi tidak nampak, karena kopi non sertifikat juga terjual dengan harga yang cukup baik.
  • Otoritas sertifikasi  dikuasai oleh  lembaga asing  yang mengutamakan kepentingan konsumen.
  • Skema sertifikasi kopi harus mudah digunakan, terjangkau, dan mudah diadaptasi oleh pedagang, eksportir bahkan petani,  akan tetapi pada saat yang sama tidak membebani  harga produk kopi.
  • Perlu program penggunaan sertifikasi kopi oleh masing-masing negara, agar dapat membuat sertifikasi lokal sebagai sertifikasi dasar yang dilakukan oleh Lembaga Indonesia dan disyahkan oleh Pemerintah sehingga dapat menjadi standard nasional dan internasional.

Dalam rangka mewujudkan keinginan bersama agar sertifikasi kopi dibuat dinegara produsen dan dapat di adop oleh pembeli agar biaya, cost dan kepentingan dapat dikendalikan, kiranya perlu adanya tindakan spesifik agar sertifikasi dapat dilakukan baik di tingkat nasional maupun secara regional/ASEAN.

Untuk itu, diharapkan agar dalam seminar tersebut masing-masing negara-negara produsen kopi ASEAN dapat menetapkan posisi bersama dalam hal sertifikasi kopi untuk disuarakan di seminar kopi tingkat dunia.

Share :


Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Isian wajib ditandai *

This entry was posted on 06/07/2012 and is filed under Kegiatan. Written by: . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.