Gara-Gara Pengenaan PPN, Eksportir Pusing Tujuh Keliling

Husen Miftahudin – 14 Agustus 2014

Metrotvnews.com, Jakarta:

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% akibat pembatalan dari Mahkamah Agung (MA) terhadap sejumlah pasal Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 membuat para pengusaha pusing tujuh keliling.

Hal tersebut membuat modal yang harus disiapkan para pengusaha menjadi lebih besar. Pasal yang dibatalkan itu mengenai penetapan hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN

“Dengan adanya hal ini membuat eksportir nasional komoditas pertanian nasional butuh ekstra modal untuk ditaruh dulu di kas negara melalui PPN-nya,” ucap Penasihat Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) Moenardji Soedargo, saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Jalan MI Ridwan Rais, Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2014).

Pria yang juga salah satu Ketua Bidang Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) ini menjelaskan bahwa para eksportir harus menyediakan dana yang lebih besar untuk mengendapkan dananya selama satu tahun melalui pengenaan PPN tersebut.

“Ekspor kopi Indonesia dalam setahun kurang lebih US$1,5 miliar, berarti eksportir harus menyediakan dana sebanyak US$150 juta yang harus tertahan dulu, baru setahun fiskal bisa direstitusi,” ungkapnya.

Hal tersebut membuat eksportir harus meminjam modal lebih banyak kepada bank, padahal bunga pinjaman kalau terlalu lama dilunasi akan menjadi lebih besar.

“Itu bunganya berapa. Apalagi kalau kita berbicara eksportir kopi nasional yang pinjamannya berasal dari bank nasional dimana bunga pinjamannya sebesar belasan persen,” tuturnya.

Menurutnya, hal ini membuat para eksportir produk-produk pertanian harus mengurangi ekspor karena harus menambah modal sebanyak 10%.

“Habis semua kalau saya modalnya cuma kecil begini. Kalau begitu cara yang paling tepat adalah mengurang ekspornya. Jangan terlalu banyak ekspor, karena modalnya juga harus banyak. Kalau pinjam di bank lagi habis semua untuk bayar bunga,” paparnya.

Maka dari itu Moenardji meminta kepada pemerintah untuk mencari jalan keluarnya agar ekspor Indonesia dapat meingkat.

“Katanya mau meningkatkan ekspor untuk menutup defisit neraca perdagangan. Saya minta untuk dicarikan solusinya segera,” pungkasnya.

Sebagai informasi, volume ekspor kopi yang berasal dari anggota-anggota GAEKI pada tahun lalu sebesar 450 ribu ton.

“Untuk tahun ini secara volume kemungkinan akan turun sebanyak 30 persen menjadi 350 ribu ton akibat cuaca,” ungkapnya. (Ahl)

http://palingaktual.com/865362/gara-gara-pengenaan-ppn-eksportir-pusing-tujuh-keliling/read/
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/08/14/277735/gara-gara-pengenaan-ppn-eksportir-pusing-tujuh-keliling

 

Asosiasi Petani Jatim Tolak Bayar PPN 10 Persen

18 August 2014 | A. Guterres | East Java

Sejumlah asosiasi petani mendesak pemerintah mencabut putusan Mahkamah Agung no 70P/HUM/ 2014. Isi putusan itu menyangkut pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen atas Barang Hasil Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.

PPN 10 persen tersebut dianggap memberatkan petani, lantaran hasil penjualan sudah memungut keuntungan 10 persen. Sementara putusan tersebut diberlakukan per-22 Juli 2014 dan tanpa proses sosialisasi, dan berlaku bagi barang lokal dan impor.

Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI), dan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) kemarin (18/8) melakukan pembicaraan di kantor Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI) Jawa Timur untuk mendesak adanya pencabutan putusan MA.

“Petani di Jatim masih jauh dari produktivitas ideal. Kami masih bertahan karena kakao masih sekadar tanaman sambilan dan bukan komoditas utama. Kalau putusan itu diterapkan, tentu petani yang merugi dan itu tidak akan bertahan untuk bercocok tanam,” kata Ketua APKAI Arif Zamroni.

Dengan kekuatan lahan seluruh Indonesia 1,6 juta ha, dan di Jatim seluas 28.000 ha, produksi yang dihasilkan sangat minim. Di Jatim saja produksi kakao siap jual hanya 400 Kg – 600 kg/ha/tahun, sedangkan di Sumatra Barat bisa mencapai 4 ton/ha/tahun.

Ancaman serupa juga disampaikan petani kopi dan tembakau yang terancam kerugian besar bila putusan tersebut dipaksakan. “Dampak dari putusan itu memberatkan proses produksi kopi. Kondisi yang kita alami adalah proses pasca panen yang tidak didukung teknologi dari pemerintah,” terang Ketua APEKI Jatim Bambang Sriono.

“Persentase 10 persen itu berat sekali, misalnya harga jual kopi Arabika per kilogram Rp50.000, maka keuntungan terpangkas untuk membayar pajak,” jelas Bambang. Saat ini produksi kopi dalam 1 hektare untuk kopi Robusta rata-rata hanya menghasilkan 1 ton biji kopi, dan jenis Arabika dalam 1 ha hanya menghasilkan 800.000 kg biji kopi.

Wakil Ketua GPEI Jawa Timur, Erlambang berencana meneruskan hasil pertemuan ke Gubernur Jawa Timur, KADIN Jatim dan Pusat, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. “Kami minta supaya (Putusan MA) dicabut atau dibatalkan, karena tidak memberi perlindungan terhadap petani dan menurunkan daya saing,” kata pria yang juga petani kopi itu. (wh)

http://www.enciety.co/asosiasi-petani-jatim-tolak-bayar-ppn-10-persen/

Permen PPN Hasil Pertanian Digedok, Petani Jatim Gulung Tikar

REDAKSI JATIMPRO

Petani kembali berteriak setelah Mahkamah agung memutuskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang aturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen atas Barang Hasil Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan resmi diberlakukan sebulan yang lalu, tepatnya 22 juli 2014.

Petani merasakan PPN yang dibebankan kepadanya akan menambah berat pajak yang mereka tanggung selama ini, dan hal tersebut dikhawatirkan membuat sebagian petani gulung tikar.

Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Wilayah Jatim, Bambang Sriono, mengatakan, selama ini keuntungan para petani dari hasil komoditinya adalah sekitar 10 persen dari harga jual. Sehingga adanya PPN 10 persen terhadap hasil pertanian yang diperjualbelikan, dinilai sangat memberatkan.

“Untung dari bertanam kopi sudah sangat mepet. Sekarang dikenai PPN lagi,” keluh Bambang, ditemui di Surabaya, Senin (18/8/2014).
Bambang menyebut, rencananya asosiasi para petani akan mengirimkan surat permohonan keberatan terhadap aturan tersebut melalui Gubernur Jawa Timur, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur serta Kementerian Koordinator Bidang Perkonomian.

“Kalau mau meningkatkan pendapatan negara kenapa harus hasil pertanian, apa latar belakangnya, kenapa tidak sektor lain? Selama ini ingin agar daya saing petani bagus, tetapi mengapa begitu caranya?,” ujarnya.

Menurut Bambang, implementasi aturan tersebut sangat merugikan, lantaran pengenaan PPN tambahan bisa menurunkan daya saing petani lokal terhadap produk impor. Selain itu, Pemerintah terkesan mengorbankan petani untuk menggenjot pendapatan negara. (md)

http://www.jatimpro.com/2014/08/ppn-hasil-pertanian-digedok-petani.html

Pengenaan PPN 10%: Terancam Merugi, Petani Jatim Minta Dibatalkan

Senin, 18 Agustus 2014

Peni Widarti

Bisnis.com, SURABAYA – Petani kakao, kopi dan tembakau di Jawa Timur terancam merugi akibat aturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% atas Barang Hasil Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.

Sejumlah asosiasi petani tersebut meminta agar aturan dalam putusan oleh Mahkamah Agung (MA) Nomor 70P/HUM/2013 tersebut dicabut.

Wakil Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur M. Erlambang mengatakan rencananya asosiasi para petani akan mengirimkan surat permohonan keberatan terhadap aturan tersebut melalui Gubernur Jawa Timur, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur serta Kementerian Koordinator Bidang Perkonomian.

“Kami minta supaya dicabut, dibatalkan. Putusan itu dilakukan pada 25 Februari 2014, dan surat edaran dari Direktur Jenderal Pajak tentang aturan itu baru dibuat 25 Juli 2014, artinya setelah diputuskan baru akan disosialisasikan,” ujarnya di Surabaya, Senin (18/8/2014).

Menurutnya, implementasi aturan tersebut masih belum jelas lantaran pengenaan PPN 10% bisa menurunkan daya saing, selain itu pemerintah mengorbankan petani untuk meningkatkan pendapatan negara.

“Kalau mau meningkatkan pendapatan negara kenapa harus hasil pertanian, apa latar belakangnya, kenapa tidak sektor lain? Selama ini ingin agar daya saing petani bagus, tetapi mengapa begitu caranya?,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Jatim Bambang Sriono mengatakan selama ini keuntungan para petani dari hasil komoditinya adalah sekitar 10% dari harga jual, sehingga bila hasil pertanian atau perkebunan tersebut dikenai PPN 10% maka petani tidak mendapat keuntungan.

“Prosesntasi 10% itu berat sekali, misalnya harga jual kopi Arabika per kilogram adalah Rp50.000 maka untungnya dikurangi untuk bayar pajak itu,” katanya.

Dia menambahkan, apalagi produksi kopi di Jawa Timur masih kurang maksimal, baik karena dari sumber daya manusia maupun teknik pengolahan pasca panen. Dalam 1 hektare lahan untuk kopi Robusta rata-rata hanya mampu menghasilkan 1 ton biji kopi, dan kopi Arabika dalam lahan 1 ha hanya menghasilkan 800.000 kg biji kopi.

Sumber : JIBI
Editor : Wahyu Darmawan

http://surabaya.bisnis.com/m/read/20140818/10/73794/pengenaan-ppn-10-terancam-merugi-petani-jatim-minta-dibatalkan

 

Tambahan Pajak Bikin Petani Kopi dan Tembakau Gulung Tikar
Selasa, 19 Agustus 2014

TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA – Para petani kopi, tembakau, dan kakao di Jatim berencana meminta perlindungan ke Gubernur terkait aturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen atas Barang Hasil Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.

Aturan yang oleh Putusan Mahkamah Agung ditetapkan berlaku sejak 22 Juli 2014 itu, dinilai bisa membuat para petani gulung tikar.

Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Wilayah Jatim, Bambang Sriono, mengatakan, selama ini keuntungan para petani dari hasil komoditinya adalah sekitar 10 persen dari harga jual.

Sehingga, adanya PPN 10 persen terhadap hasil pertanian yang diperjualbelikan, dinilai sangat memberatkan.

“Untung dari bertanam kopi sudah sangat mepet. Sekarang dikenai PPN lagi,” keluh Bambang, ditemui di Surabaya, Senin (18/8/2014).

Bambang menyebut, petani kopi di Jatim saat ini bisa menghasilkan sekitar satu ton untuk setiap satu hektar lahan kopi. Dengan harga jual saat ini yang mencapai Rp 25.000 setiap kilogramnya (kopi Robusta), maka petani bisa mendapat Rp 25 juta dari hasil jual setiap hektar lahan.

“Nah, dengan adanya tambahan pajak, maka hasil jual petani berkurang sepuluh persen, sehingga tentu saja ini semakin menipiskan keuntungan yang didapat,” ujar Bambang.

Pun dengan hasil pertanian tembakau. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kabupaten Jember, Abdurrahman, menilai, tambahan pajak ini bisa makin menyudutkan petani.

Saat ini, masalah petani tembakau sudah banyak, mulai dari turunnya permintaan akibat banyak pabrik rokok yang tutup, hingga kondisi cuaca yang tidak bersahabat.

Yang lebih terdesak lagi, adalah pertanian kakao. Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Arif Zamroni, mengeluhkan penambahan pajak yang bisa membuat pertanian kakao tidak berkembang.

Menurut Arif, implementasi aturan tersebut sangat merugikan, lantaran pengenaan PPN tambahan bisa menurunkan daya saing petani lokal terhadap produk impor. Produk kakao Indonesia, kata Arif, saat ini sudah dapat harga tinggi di dunia. Tapi, adanya tambahan pajak ini bisa membuat petani terpaksa menaikkan harga, sehingga bisa kalah bersaing dengan kakao asal Ghana atau Pantai Gading, Afrika. Selain itu, Arif mengkritik, pemerintah terkesan mengorbankan petani untuk menggenjot pendapatan negara.

“Kalau mau meningkatkan pendapatan negara kenapa harus hasil pertanian, apa latar belakangnya, kenapa tidak sektor lain? Pemerintah selalu menginginkan agar daya saing petani bagus, tetapi kebijakan yang dibuat malah kontraproduktif,” ujar dia.

Surati Gubernur

Arif Zamroni menerangkan, tambahan pajak bisa membuat petani kakao gulung tikar, karena selama ini, masalah terbesar dari pertanian kakao di tanah air, adalah belum tingginya angka produktivitas.

Menurut Arif, untuk Jatim misalnya, satu hektar lahan hanya bisa menghasilkan 600 kilogram kakao.

“Ini belum menghasilkan keuntungan yang cukup, apalagi bila sekarang harus dipotong pajak lagi. Kalau satu hektar lahan sudah bisa menghasilkan 1,5 ton, mungkin petani baru bisa bernafas,” tukas Arif, mengatakan bahwa kakao kini memang masih bersifat sebagai tanaman sekunder.

Sejumlah asosiasi petani rencananya akan mengirimkan surat permohonan keberatan terhadap aturan tersebut melalui Gubernur Jawa Timur, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur serta Kementerian Koordinator Bidang Perkonomian.

“Kami akan merumuskan semua suara keberatan kami, sebelum meneruskannya ke Gubernur. Yang jelas, kami minta supaya keputusan ini dicabut,” ungkap Arif.

http://www.tribunnews.com/regional/2014/08/19/tambahan-pajak-bikin-petani-kopi-dan-tembakau-gulung-tikar

 

Asosiasi Petani Perkebunan Tolak PPN
20 Agustus 2014

SURABAYA – Asosiasi petani dari sektor perkebunan meliputi kopi, kakao, dan tembakau menolak pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen untuk komoditas. Sebab, pemungutan PPN tersebut berpotensi mengancam produktivitas.

Sebagaimana diwartakan, pemungutan itu bermula dari Keputusan Mahkamah Agung No 70/2014 yang membatalkan Perpres 31/2007 tentang Impor atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN. Dampaknya, kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan wajib menyetor PPN.
Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (Apeki) Jatim Bambang Sriono menuturkan, pemungutan PPN bakal mengoreksi keuntungan petani. Padahal, keuntungan dari hasil penjualan hanya 10 persen. ’’Nah, kalau ditambah dengan PPN 10 persen, petani tidak bisa untung,’’ katanya Selasa (19/8).

Saat ini harga kopi robusta di pasaran mencapai Rp 22.000 per kilogram. Rata-rata produktivitas per hektare adalah satu ton. Harga kopi arabika menembus Rp 50.000 per kilogram dengan produktivitas 800 kilogram per hektare. ’’Padahal, produksi dan harga baru bergeliat tahun ini. Tahun lalu produksi turun karena anomali cuaca, ditambah harga terjun bebas,’’ lanjutnya.

Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia Arif Zamroni mengungkapkan, selama ini komoditas kakao belum menjadi tanaman pokok petani. Karena itu, penarikan PPN berpotensi mengancam produktivitas kakao yang masih rendah. Sebab, dengan beban yang terus meningkat, petani kakao bakal memilih bertanam komoditas lain yang lebih menguntungkan.

’’Petani tinggal membabat dan menggantinya dengan sayur bayam yang lebih mudah dan menguntungkan. Padahal, saat ini regulasi mengembangkan kakao di kawasan selatan Pulau Jawa tengah disusun,’’ jelasnya.

Sebab, lanjut dia, produktivitas kakao masih rendah. Secara nasional, rata-rata produktivitasnya hanya 400–600 kilogram per hektare per tahun. Di Jatim, produktivitas kakao bisa 600–700 kilogram per tahun. Nah, dengan berbagai program seperti intensifikasi, rehabilitasi, dan pembinaan petani, pihaknya optimistis produktivitas pada 2015 bisa mencapai 1 ton per hektare.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Kasturi Kabupaten Jember Abdurrahman menyatakan, pihaknya juga berkeberatan dengan ketentuan tersebut. Sebab, biaya yang ditanggung petani tembakau sudah besar seperti pajak daerah. Karena itu, jika kebijakan itu diberlakukan, petani berkeberatan. Dia bersama asosiasi terkait akan mengajukan penolakan kepada gubernur Jatim agar ditindaklanjuti hingga pemerintah pusat.(res/c14/oki)

http://www.jawapos.com/baca/artikel/6028/Asosiasi-Petani-Perkebunan-Tolak-PPN
Share :


Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Isian wajib ditandai *

This entry was posted on 20/08/2014 and is filed under Berita. Written by: . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.