Hadapi MEA, Kopi Masih Punya Taji
Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah dimulai. Para pengusaha diminta bersiap. Salah satunya, di industri kopi. Indonesia kesohor dengan kelezatan dan ragam jenis kopi. Negeri yang indah ini juga menjadi produsen kopi terbesar ketiga di dunia di bawah Brasil dan Vietnam. Di era perdagangan bebas ASEAN, para pengusaha yakin industri hilir kopi masih punya taji di tengah persaingan yang kian sengit dengan dimulainya MEA.
“Kopi Indonesia masih kompetitif. Kualitasnya masih lebih bagus dari para pesaing,” kata Moenardji Soedargo, Advisor Gabungan Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI).
Ia meminta pemerintah memberi dukungan lewat industri petrochemical dan turunannya yang memproduksi plastik pembungkus produk. Bila industri tersebut semakin efisien, harga produknya akan jauh lebih murah. “Ini akan meningkatkan daya saing kami sebagai pelaku di industri kopi olahan sebagai pengguna,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus tegas dalam menerapkan standar nasional Indonesia (SNI) kopi olahan yang berlaku efektif mulai Januari 2016. Ini untuk melindungi konsumen dari kopi olahan bermutu rendah. “Pelaku industri di dalam negeri siap. Justru produk luar negeri yang sering buruk kualitasnya. Pemerintah harus menjaga konsumen domestik jangan sampai tertipu dengan harga murah,” katanya.
Industri kopi olahan sudah seharusnya menjadi prioritas pemerintah. Ekspor kopi Indonesia masih didominasi biji kopi dari jenis robusta dan sebagian arabika. Industri kopi nasional saat ini hanya mampu menyerap 35% produksi kopi dalam negeri dan sisanya 65% masih diekspor dalam bentuk biji. Dengan kata lain, peluang pengembangan kopi olahan masih sangat besar.
Apalagi, pengembangan industri pengolahan kopi di dalam negeri masih cukup prospektif. Sebab, konsumsi kopi masyarakat Indonesia rata-rata baru mencapai 1,1 kilogram (kg) per kapita per tahun. Bandingkan dengan negara-negara tujuan ekspor kopi Indonesia.
Konsumsi kopi di Amerika Serikat sudah mencapai 4,3 kg per kapita per tahun, Jepang 3,4 kg per kapita per tahun, Austria 7,6 kg per kapita per tahun, Belgia 8 kg per kapita per tahun, Norwegia 10,6 kg per kapita per tahun, dan Finlandia 11,4 kg per kapita per tahun.
Untuk memberi iklim yang kondusif bagi pengembangan industri kopi nasional, pemerintah juga memperketat impor kopi olahan dengan menaikkan bea masuk (BM) menjadi 20% dari sebelumnya hanya 5% sudah tepat. Kenaikan tarif impor dalam Permenkeu No 132 Tahun 2015 itu berlaku untuk produk kopi olahan jenis kopi sangrai, bubuk, instan, dan mix.
Ke depan, pemerintah juga mendorong industri pengolahan kopi melakukan diversifikasi produk, kopi tidak hanya dikembangkan sebagai minuman, namun juga dalam bentuk produk lainnya, semisal komestik, farmasi, dan penguat rasa makanan.
LINK BERITA :
http://swa.co.id/business-strategy/management/hadapi-mea-kopi-masih-punya-taji
Tinggalkan Balasan