PETANI DAN PPN

Petani dan PPN Oleh Wamendag

Petani Tolak Pajak PPn 10% Produk Pertanian

by ADMIN on 09 AGUSTUS 2014

MAKASSAR, UPEKS–Sejumlah petani holtikultura menyatakan menolak adanya kebijakan pemerintah dalam hal Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang memberlakukan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% terhadap semua hasil pertanian segar yang dihasilkan oleh petani. Penolakan terhadap kebijakan tersebut disampaikan, Ketua Umum DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sulsel, A Sulaiman Husain.

Menurut Sulaiman, dengan adanya kebijakan Kemendag yang mengenakan PPn 10% terhadap hasil pertanian petani akan mematikan dan memberatkan karena bisa dipastikan beban petani akan semakin bertambah. “Untuk itu kami menolak,” tegasnya. Sulaiman menjelaskan, pihaknya sebelumnya sudah dipanggil oleh Kemendag untuk mendatangani persetujuan aturan PPn 10 persen, tetapi pihaknya menolak untuk menandatangani persetujuan tersebut.

“Aturan ini memang sudah disetujui oleh Kemendag. Tetapi aturan ini belum bisa berlaku karena belum adanya persetujuan dari Kementerian Keuangan,” ujarnya. Sulaiman memaparkan, pendapatan yang di dapatkan pemerintah dari bea keluar Crude Palm Oil (CPO) pada tahun 2013 sebesar Rp100 triliun, tetapi dana tersebut tidak diketahui rimbanya. Apalagi saat ini pemerintah sampai saat ini belum menyalurkan bantuan pupuk dan bibit kepada perkebunan rakyat, padahal banyak lahan yang sudah semakin mendesak untuk diremajakan.

“Petani tidak bisa melakukan peremajaan karena tidak memiliki uang. Makanya kami minta potongan dari bea keluar. Tapi pemerintah tidak pernah merespon,” katanya. Terpisah, Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sulsel, Yusa Rasyid Ali, juga menyatakan menolak tentang adanya pemberlakuan PPn 10 persen. Apalagi Kemendag juga akan memberlakukan pembebasan bea masuk kakao yang dipastikan akan semakin memberatkan petani Kakao, khususnya di Sulsel.

“Kalau perkebunan besar mungkin tidak terlalu berpengaruh,” kata Yusa. Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Pengusahaan Hutan Dinas Kehutanan Sulsel, Andi Tonra Solie mengatakan, pihaknya sampai saat ini belum mendapatkan terkait adanya aturan dari pemerintah pusat. “Tapi, sepertinya pengusaha akan merasa berat. Sebab sekarang saja sangat banyak pungutan kepada pengusaha. Misalnya saja yang paling besar adalah biaya pengganti nilai tegakan yang nilainya 100 persen dari harga kayu,” kata Tonra.

Sebelumnya pada tanggal 25 februari, Mahkamah Agung membatalkan sebagian peraturan presiden nomor 31/2007 tentang impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai.

Keputusan ini disampaikan kepada pemerintah pada 23 April 2014 dan berlaku pada 22 Juli 2014. Dalam putusan itu dinyatakan penyerahan barang hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan oleh pengusaha kena pajak dikenai PPn Barang itu meliputi produk seperti kakao, kopi, biji pala, sawit, biji mente, lada, cengkeh dan getah karet. Sementara untuk produk hortikultura seperti pisang, jeruk, mangga, salak, dan durian. (ihm/suk)
http://www.upeks.co.id/index.php/utama/item/15416-petani-tolak-pajak-ppn-10-produk-pertanian

 

Asosiasi Tolak Pemberlakuan PPN Produk Pertanian

Senin, 11 Agustus 2014
Laporan Wartawan Tribun Timur : Hajrah

TRIBUNNEWS.COM,MAKASSAR- Sejumlah asosiasi menolak pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen terhadap produk pertanian sebagai barang kena pajak (BKP).

Gelombang protes diantaranya datang dari Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Sulsel.

Ketua Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Sulsel, Sulaiman Husain mengatakan, pemberlakuan PPN 10 persen untuk produk pertanian akan menjadi beban baru bagi petani dalam negeri.

Menurutnya pendapatan petani tidak layak diberlakuka PPN karena selama ini telah banyak jenis pungutan dalam bentuk bea keluar yang dibebankan.
Walaupun kata dia, bukan petani yang dipungut secara langsung namun imbas dari biaya tambahan yang dikeluarkan akan masuk pada pembelian bagi petani yang akan berdampak pada harga dan pendapatan.

Sebagai contoh kata dia pungutan untuk kakao dengan bea keluar ( BK ) 5-15 persen, ditambah sumbangan pihak ke tiga, serta pungutan lainnya.
Sulaiman mengungkapkan bahwa sampai hari ini pemerintah belum mampu memberikan jaminan kebijakan dalam mendorong usaha-usaha pertanian dimana banyak harga dari produk pertanian khususnya Sulsel yang masih rendah dari sisi daya saing.

“Kami yakin dengan kebijakan PPN ini akan membuat petani makin kesusahan dan menurunkan produktifitas,”katanya, Minggu (10/8).
Pihaknya menaruh harapan besar pada Kementerian Keuangan untuk mempertimbangkan kebijakan pemberlakuan PPN 10 persen bagi kelangsungan industri pertanian di Indonesia.

Dalam aturan ini menyebutkan bahwa penyerahan barang hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan oleh pengusaha kena pajak, akan dikenai PPN 10 persen.

Produk pertanian yang masuk barang kena pajak (BKP) seperti kakao, kopi, biji pala, sawit, biji mente, lada, cengkeh, hingga getah karet.

http://www.tribunnews.com/regional/2014/08/11/asosiasi-tolak-pemberlakuan-ppn-produk-pertanian

 

Pajak Bagi Pertanian Sebabkan Petani Doyan Ekspor

Jum’at, 08 Agustus 2014
Selfiani Hasanah – Okezone

JAKARTA – Pajak bagi para Petani mendapat protes, karena dinilai sangat memberatkan. Pasalnya, sampai saat ini masih banyak petani di Indonesia yang hidupnya masih di bawah garis kemiskinan.

Wakil menteri perdagangan, Bayu Krisnamurti mengatakan petani seharusnya tidak dibebankan dengan pembayaran pajak. Menurutnya, dulu ada Keputusan Presiden yang membuat petani tidak perlu membayar pajak. Sayangnya, aturan tersebut telah dibatalkan.

“Kepres menyatakan produk pertanian segar tidak harus bayar PPN. Jadi hitungannya itu BKP (barang Kena Pajak). Dia tidak bayar PPN, orangnya bukan menjadi subject pertambahan nilai,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (8/8/2014).

Namun, dia mengatakan ada kesalahan penggunaan PPN di lapangan. Sehingga, petani yang seharusnya masuk dalam BKP, tetap dikenakan biaya PPN.

“Ini menjadi masalah, ada industri terintegrasi (integrated industry) kebun, petani plasma, pabrik punya dia. Karena dia bukan BKP, PPN dari input yang dipake seperti pestisida, traktor, pupuk, dan lain-lain tidak bisa di kreditkan, karena BKP. Semua dari PPN, inputan dimasukkan ke dalam proses produk selanjutnya,” jelasnya.

Menurutnya, masalah ini telah dibicarakan hingga ke tingkat Mahkamah Agung, guna mencari titik permasalahan dan jalan keluarnya. Bayu memaparkan, aturan batasan pendapatan yang harus dikenakan pajak telah jelas dan seharusnya bisa dijalan dengan baik.

“Kalau dalam sawit, yaitu CPO, ini mengurangi daya saing CPO, sekitar 6 persen. Tapi ini untuk integrated industri. Diajukan review, Mahkamah Agung mencabut semuanya. akibatnya, barang itu menjadi BKP. Petaninya, bukan pengusaha kena pajak (PKP) tidak bayar PPN, dengan keputusan MA, petani tidak bayar PPN,” tambahnya.

“Batas minimum kena pajak Rp4 miliar. Batasnya Rp4,2 miliar, besar sekali. Pendapatan sampai Rp400 juta per bulan. petani tidak bayar PPN, tapi barangnya sudah kena pajak. Ada masalahnya bagi integrated industry,” tambah dia.

Ke depan, dia berharap segala sesuatu yang berhubungan dengan ekspor tidak dipermudah. Dengan demikian, para petani akan lebih memilih menjual barangnya di dalam negeri.

“Kalau dia ekspor tidak kena PPN, sedangkan dalam negeri kena PPN. Dia pasti pilih ekspor, bedanya 10 persen. Kita ingin, agar ekspor jangan difasilitasi,” tutupnya. (mrt)

http://economy.okezone.com/read/2014/08/08/320/1021973/pajak-bagi-pertanian-sebabkan-petani-doyan-ekspor

Share :


Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Isian wajib ditandai *

This entry was posted on 15/08/2014 and is filed under Berita. Written by: . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.