PPN Produk Pertanian, Mendag Bakal Surati CT
Husen Miftahudin – 13 Agustus 2014 19:27 wib
Metrotvnews.com, Jakarta: Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi akan mengirimkan surat kepada Menko Perekonomian Chairul Tanjung. Apa pasal?
Surat tersebut sebagai tindak lanjut mengenai kekecewaannya terhadap pembatalan sejumlah pasal dari Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.
Adapun pasal tersebut berisi tentang penetapan hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN).
Surat tersebut rencananya untuk mencari jalan keluar dari proses tersebut, sehingga proses hilirisasi yang tengah digenjot oleh pemerintah tidak akan terganggu.
“Membereskannya nanti apakah dengan cara dikeluarkannya surat baru untuk mengganti PP lama yang telah dibatalkan atau mencari jalan keluar yang baru, agar proses hilirisasi ini tidak terganggu,” ujar Lutfi, saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Jalan MI Ridwan Rais No. 5, Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2014).
Menurut Lutfi, dengan adanya pembatalan pasal ini, maka tidak sesuai dengan komitmen hilirisasi pemerintah yang sedang menggenjot hasil pengolahan untuk diproduksi di dalam negeri.
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/08/13/277181/ppn-produk-pertanian-mendag-bakal-surati-ctProduk Pertanian Kena PPN Hambat Hilirisasi
Anshar Dwi Wibowo – 17 Agustus 2014
Metrotvnews.com, Jakarta: Mahkamah Agung melalui Keputusan MA Nomor 70 Tahun 2014 memutuskan untuk membatalkan sebagian Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.
Alhasil, produk pertanian kembali dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%
Menyikapai hal tersebut, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, pengenaan PPN untuk produk pertanian yang meliputi produk hortikultura, produk perkebunan, dan hasil hutan akan menghambat upaya hilirisasi. Sebab, Perpres Nomor 31/2007 tantang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN, awalnya dibuat untuk tujuan itu.
“Saya sebenarnya sangat menyayangkan tidak berlakunya Perpres tersebut dan merasa bahwa semestinya kita dalam proses hilirisasi,” ujar Lutfi usai pelaksanaan upacara hari kemerdekaan di gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Minggu (17/8/2014).
Lutfi menjelaskan, Perpres Nomor 31/2007 memperbaiki kondisi perdagangan produk pertanian. Salah satunya terkait perdagangan kakao alias cokelat. Sebelumnya, produk pertanian untuk kegiatan ekspor dikenakan tarif PPN sebesar 0%. Sebaliknya, untuk industri dalam negeri dikenakan PPN 10%. Akibatnya, banyak biji kakao yang diekspor.
“Apa yang terjadi? Dari 425 ribu ton biji kakao kita, tiga perempatnya ke luar negeri, makanya industri coklat dan turunannya di Malaysia maju, mereka membeli lebih dari 200 ribu ton. Dan seperempat ekspor kita keluar negeri itu diambil oleh Amerika Serikat karena tidak divermentasi,” tuturnya
Beranjak dari kondisi tersebut dibuatlah PP Nomor 31/2007 yang merupakan perubahan keempat dari PP Nomor 12 Tahun 2001. Tujuannya pembebasan PPN pada produk pertanian untuk meningkatkan daya saing dan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Namun, kenyataan berbicara lain. Lutfi mengungkapkan, pembatalan PP Nomor 31/2007 oleh MA, hanya akan menguntungkan industri yang memiliki usaha hulu dan hilir terintegrasi.
Model seperti ini umumnya ada di sektor industri kelapa sawit. Untuk itu, dia sudah memberi masukan kepada kementerian teknis yakni Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Menteri Pertanian Suswono, untuk mencarikan solusi yang komprehensif.
“Inilah bagian dari komitmen pemerintah untuk hilirisasi jadi saya mengingatkan juga kepada industri jangan hanya mementingkan keberlangsungan industri itu sendiri,” ucapnya.
Senada, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, yang mendapatkan manfaat paling besar ialah industri yang terintegrasi. Sebab, memiliki kebun dan pabrik pengolahan sendiri.
“Itu semua akibatnya bisa merestitusikan pajak masukan untuk bibit, pupuk, dan lainnya sebagai dari olahannya,” tuturnya.
Sementara dampaknya bagi petani, karena bukan pengusaha kena pajak (PKP) maka tidak bisa melakukan restitusi pajak. Hanya, produk yang dijual dikenai PPN. Masalah lainnya, Bayu menjelaskan, biji kopi atau kakao yang diekspor tidak kena PPN karena bisa direstitusi. Tapi kalau masuk ke industri dalam negeri dikenakan PPN dan tidak bisa direstitusi.
“Memang bisa dihitung pajak masukannya di dalam proses produksi tapi enggak bisa dia klaim balik,” katanya.
Di sisi lain, keputusan memuat ketentuan PPN dengan tarif 10% dikenakan atas penyerahan dan impornya. Menurut Bayu, mungkin saja bagus untuk usaha mengendalikan impor. Tapi, jika yang kena PPN untuk bahan baku industri maka bisa memukul industri tersebut.
“Ya bisa saya katakan ini bukan insentif bagi program hilirisasi kopi dan kakao,” pungkasnya.(Wid)
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/08/17/278785/produk-pertanian-kena-ppn-hambat-hilirisasi
PPN Produk Pertanian Hambat Hilirisasi Kopi
MINGGU, 17 AGUSTUS 2014
TEMPO.CO, Jakarta – Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk pertanian segar dianggap kontraproduktif dengan upaya pemerintah menggenjot hilirisasi sektor pertanian di dalam negeri. Terutama produk pertanian yang akan diolah oleh industri.
“Bijih kopi atau kakao itu kalau diekspor tidak kena PPN karena bisa direstitusi, tapi kalau masuk ke industri dalam negeri malah kena PPN,” kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Ahad, 17 Agustus 2014.
Menurut Bayu, untuk produk pertanian segar lainnya, penerapan PPN 10 persen ini akan mendukung upaya pengendalian impor. Tetapi bagi petani kopi justru ini akan merugikan karena kalaupun proses pengolahan nilai tambah dikenakan pajak, tidak bisa meminta restitusi. “Jadi bisa saya katakan ini bukan insentif bagi program hilirisasi kopi dan kakao,” ujarnya.
Mulai 22 Juli, seluruh produk pertanian segar yang dihasilkan petani dikenakan PPN sebesar 10 persen. Produk tersebut meliputi produk segar perkebunan, hortikultura, dan hasil hutan.
Sebelumnya, sesuai Perpres Nomor 31 Tahun 2007, produk pertanian sebenarnya tak dikenai PPN. Namun, Mahkamah Agung melalui keputusan Nomor 70 Tahun 2014 telah membatalkan Perpres tersebut. Dalam putusan itu dinyatakan, penyerahan barang hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan oleh pengusaha kena pajak (PKP) dikenai PPN.
Produk tersebut, antara lain kakao, kopi, kelapa sawit, biji mete, lada, biji pala, buah pala, bunga pala, bunga cengkeh, tangkai/daun cengkeh, getah karet, daun teh, daun tembakau, biji tanaman perkebunan, dan sejenisnya. Sementara itu produk hortikultura lainnya, misalnya pisang, jeruk, mangga, salak, nanas, manggis, durian, dan sejenisnya.
AYU PRIMA SANDI
http://www.tempo.co/read/news/2014/08/17/090600244/PPN-Produk-Pertanian-Hambat-Hilirisasi-Kopi
Tinggalkan Balasan