Pengenaan PPN Kopi 1,1%

 

Tren ekspor kopi untuk kedepannya akan terus meningkat dikarenakan kaum milenial semakin sering menghabiskan uangnya di kafe untuk membeli kopi. Celah ini dimanfaatkan pemerintah untuk memaksimalkan penerimaan negara dari PPN ekspor, guna meningkatkan devisa hasil ekspor, dan meningkatkan ekspor non komoditas.

Apabila impor kopi juga tinggi, maka bea masuk yang dikenakan juga harus dinaikkan. Hal tersebut dilakukan supaya tidak merusak harga pasar dan daya saing dalam negeri tetap terjaga. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 89/PMK.010/2020 tentang nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu, pemerintah Indonesia secara resmi telah mengenakan pajak (PPN) sebesar 1% terhadap komoditas pertanian.

Penerbitan PMK ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum pada PPN hasil pertanian. Sehingga pada sektor pertanian dapat memberikan kontribusi perpajakan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Diharapkan dengan adanya pengenaan PPN pemerintah dapat mendorong pengembangan komoditas dalam negeri. Diharapkan juga pemerintah dapat memberikan insentif pada industri pengolahan biji kopi.

Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu menyatakan hasil pertanian hanya dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen dari tarif PPN atau 1,1 persen. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan PPN atas barang hasil pertanian tertentu (BHPT) bukan merupakan pajak baru. “Pengenaan PPN atas barang hasil pertanian tertentu ini juga bukan pajak baru, sudah dikenakan PPN sejak 2013 dengan tarif 10 persen,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (12/4/2022).

Neil menjelaskan tata cara pemungutan PPN terhadap objek pajak ini terus disederhanakan, termasuk melalui PMK-64/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu yang mulai berlaku 1 April 2022. Dalam aturan tersebut, PPN BHPT dipungut dengan besaran tertentu yakni 1,1 persen final dari harga jual, yang bertujuan memberikan rasa keadilan dan menyederhanakan administrasi perpajakan.

“Selain latar belakangnya karena telah terbitnya UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan), beleid ini berkomitmen tetap memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, serta menyederhanakan administrasi perpajakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban bagi pengusaha yang menyerahkan barang hasil pertanian tertentu,” jelasnya.

Dalam PMK Nomor 64 Tahun 2022, pemerintah mengatur BHPT yang merupakan objek pajak terdiri dari cangkang dan tempurung kelapa sawit, biji kakao kering, biji kopi sangrai, kacang mete, sekam dan dedak padi, serta klobot jagung yang semuanya telah melewati proses seperti dipotong, direbus, diperam, difermentasi ataupun proses lanjutan lainnya. Selanjutnya, PPN terutang dipungut menggunakan besaran tertentu sebesar 1,1 persen final dari harga jual dan pengusaha kena pajak (PKP) wajib menerbitkan faktur pajak saat penyerahan BHPT.

Ringkasan Tahapan Perjuangan & Respon Pemerintah thd  Pengenaan PPN di Tingkat Industri & Eksportir.

  1. Pengenaan PPN 10 % Komoditi Hasil Pertanian, Perkebunan & Kehutanan :

Pada 25 Februari, Keputusan MA Nomor 70 Tahun 2014 memutuskan untuk membatalkan sebagian Perpres No 31/2007.

Dengan adanya putusan MA 70P/HUM/2014, maka Barang Strategis hasil Pertanian, perkebunan dan kehutanan dalam  PP 31/2007 pasal 1C menjadi Barang Kena Pajak (BKP) dan dikenakan PPN 10%. berlaku 22 Juli 2014.

  1. Dampak pengenaan PPN 10 % terhadap dunia usaha :
  • Pelaku usaha memang hanya menyetor PPN ke Kas Negara sejumlah selisih antara PPN Keluaran dengan PPN Masukan. Akan tetapi secara cashflow,  para pelaku usaha ketika membeli barang sudah harus membayar PPN Masukan, yang akan mengendap cukup lama sampai diterima PPN Keluaran ketika barang terjual.
  • Karena mereka sudah membayar PPN Masukan sementara PPN Keluarannya nol. Akibatnya  diperlukan tambahan modal kerja dengan tingkat suku bunga yang relatif tinggi, dan diperlukan waktu yang cukup lama untuk proses restitusi PPN 10% tersebut. Hal ini telah  melemahkan daya saing ekspor.
  • Kesulitan pengekspor memperoleh restitusi PPN menimbulkan tekanan pada harga produk pertanian di pemasaran domestik sehingga pengenaan PPN saat ini tidak netral baik terhadap perdagangan domestik maupun internasional. Jumlah beban pajak yang ditanggung konsumen maupun beban pajak yang terkandung dalam harga produk industri agro yang diekspor tidak dapat dihitung dengan pasti jumlahnya.
  • Mengingat sebagian besar komoditi primer perkebunan dan hasil olahannya untuk tujuan ekspor, maka pengenaan PPN 10% tidak memberikan manfaat penerimaan bagi Pemerintah, atau pendapatan pajak PPN untuk negara pada hakekatnya adalah nihil. Bahkan telah terbukti  memberatkan petani, pedagang, eksportir, dan industri pengolahan, yang pada gilirannya telah menggerus daya saing industri secara keseluruhan.
  • Adapun PPN yang sejatinya diterima oleh negara hanyalah PPN atas produk yang diolah oleh industri hilir dan dipasarkan di dalam negeri (konsumen akhir).
  1. Usulan & perjuangan thd pengenaan PPN 10 % :

Sejak tahun 2014, GAEKI sudah mulai  memperjuangkan keberatan thd PPN Kopi kepada Pemerintah a.l. secara formal menyampaikan surat kepada Menko Ekuin Charul Tanjung tertanggal18 Agustus 2014 dan juga kepada Wapres Jusuf Kalla tertanggal 13 November  2014 & dilanjutkan bersama-sama  4 Asosiasi (GapKindo, Gaeki, Askindo & Aksi) menghadap Wapres Jusuf Kalla tgl. 15 November  2014

Sejak tahun 2017,GAEKI bersama beberapa pelaku usaha perkebunan Kopi, Karet, Kakao & Teh yang tergabung dalam Forum Komunikasi Dewan Komoditas Perkebunan (FPDKP) telah meminta pemerintah agar menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi empat komoditas perkebunan.

Pada tanggal 14 Desember 2016, GAEKI bersama FKDKP mengadakan FGD Dampak Pengenaan PPN atas Hasil Perkebunan Berbasis Rakyat di  Jakarta. Pada FGD tersebut telah disepakati menunjuk Ibu DR. Aviliani sebagai pembicara dan seorang pakar PPN yang memahami hasil perkebunan rakyat.

Dari FGD tsb. telah dihasilkan  Naskah Akademi PPN 2017, antara lain memberikan kesimpulan bahwa : Mengingat sebagian besar komoditi primer perkebunan dan hasil olahannya untuk tujuan ekspor, maka pengenaan PPN 10% tidak memberikan manfaat penerimaan bagi Pemerintah, atau pendapatan pajak PPN untuk negara pada hakekatnya adalah nihil. Bahkan telah terbukti memberatkan petani, pedagang, eksportir dan industri pengolahan, yang pada gilirannya telah menggerus daya saing industri secara keseluruhan. PPN sejatinya diterima oleh negara hanyalah PPN atas produk yang diolah oleh industri hilir dan dipasarkan di dalam negeri (konsumen akhir).

  1. Respon Pemerintah terhadap pengenaan PPN :
  • PMK 89/PMK.010/2020 produk pertanian, perkebunan, dan kehutanan  terutang PPN. Kemudian tidak dapat diberikan lagi fasilitas pembebasan PPN akibat dibatalkan MA, dan mekanisme DPP nilai lain dikenai PPN dengan tarif efektif 1%, berlaku
    27 Juli 2020

PMK 89 yang menawarkan kemudahan sebagai solusi penyelesaiannya. Saat ini wajib pajak dapat memilih menggunakan mekanisme PPN normal atau menggunakan mekanisme nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Apabila menggunakan mekanisme nilai normal, DPP menggunakan harga jual dengan tarif PPN sebesar 10%. Sedangkan apabila memilih mengunakan mekanisme nilai lain, DPP adalah 10% dari harga jual sehingga diperoleh tarif efektif 1%. 

  • Pemerintah resmi menerapkan kenaikan PPN menjadi 11% atas penyerahan hasil pertanian tertentu melalui PMK Nomor 64/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu, terdapat setidaknya 41 komoditas hasil pertanian yang dikenakan PPN, yang berlaku mulai 1 April 2022.

Pasal 2 PMK 64/2022, antara disebutkan bahwa “Pengusaha kena pajak yang melakukan kegiatan penyerahan barang hasil pertanian tertentu dapat menggunakan besaran tertentu untuk memungut dan menyetorkan pajak pertambahan nilai yang terutang,”

Adapun besaran pajaknya, pemerintah menetapkan tarif 1,1% dari harga jual yang berlaku mulai 1 April. Besaran ini diperoleh dari hasil perkalian 10% dari tarif PPN yang berlaku saat ini, yaitu 11%.

LINK :

https://www.pajakku.com/read/6188fff34c0e791c3760bddb/Biji-Kopi-Dikenakan-PPN-1-Persen

https://www.republika.co.id/berita/ra77zi384/djp-tegaskan-hasil-pertanian-dikenakan-ppn-11-persen

https://www.pajakku.com/tax-guide/12072/PER_MENKEU/89/PMK.010/2020

Share :


Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Isian wajib ditandai *

This entry was posted on 11/10/2022 and is filed under Kegiatan. Written by: . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.